Rabu, 23 Oktober 2013

Komunikasi Bisnis Dalam Pandangan Islam

1. KOMUNIKASI DALAM AL – QURAN

Meskipun al-Qur'an secara spesifik tidak membi­ca­rakan masalah komunikasi, namun, jika diteliti ada banyak ayat yang memberikan gambaran umum prinsip-prinsip komunikasi. Dalam hal ini, penulis akan merujuk kepada term-term khusus yang diasum­sikan sebagai penjelasan dari prinsip-prinsip komunikasi tersebut. Antara lain, term qaulan balighan, qaulan maisuran, qaulan kari­man, qaulan ma’rufan, qaulan layyinan, qaulan sadidan, juga ter­ma­suk qaul al-zur, dan lain-lain. [1]

a.      Prinsip Qaul baligh
Di dalam al-Qur'an term qaul baligh hanya disebutkan sekali, yaitu surah an-Nisa' ayat 63:
فكيف إذا أصابتهم مصيبة بما قدمت أيديهم ثم جاءوك يحلفون بالله إن أردنا إلا إحسانا وتوفيقا, أولئك الذين يعلم الله ما فى قلوبهم فأعرض عنهم و عظهم و قل لهم فى أنفسهم قولا بليغا
"Maka bagaimana halnya apabila (kelak) musibah menimpa mereka (orang munafik) disebabkan perbuatan tangannya sendiri, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersum­pah, “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaik­an dan kedamaian.” Mereka itu adalah orang-orang yang (sesung­guhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya. 

            Term balīgh, yang berasal dari ba la gha, oleh para ahli bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Juga bisa dimaknai dengan “cukup” (al-kifāyah). Sehingga perkataan yang balīgh adalah perkataan yang merasuk dan membekas dalam jiwa. Sementara menurut al-Ishfahani, bahwa perkataan tersebut me­ngan­dung tiga unsur utama, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki, dan isi perkataan adalah suatu kebenaran. Sedang­kan term balīgh dalam konteks pembicara dan lawan bicara, adalah bahwa si pembicara secara sengaja hendak menyampaikan sesuatu dengan cara yang benar agar bisa diterima oleh pihak yang diajak bicara.
Secara rinci, para pakar sastra, seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab, membuat kriteria-kriteria khusus tentang suatu pesan dianggap balīgh, antara lain:
1.      Tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disam­pai­kan
2.      Kalimatnya tidak bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga pengertiannya menjadi kabur
3.      Pilihan kosa katanya tidak dirasakan asing bagi si pendengar
4.      Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan lawan bicara
5.      Kesesuaian dengan tata bahasa.

b.      Prinsip Qaul karim
Term ini ditemukan di dalam al-Qur'an hanya sekali, yaitu surah al-Isra' ayat 23:و قضى ربك الا تعبدوا إلا إياه و بالوالدين احسانا, امايبلغن عندك الكبر احدهما او كلاهما فلا تقل لهما اف ولا تنهرهما و قل لهما قولا كريما

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik."
Namun, jika term karīm dirangkai dengan kata qaul atau perkataan, maka berarti suatu perkataan yang  menjadikan  pihak  lain  tetap  dalam  kemuliaan, atau perkataan yang membawa  manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud merendahkan. Di sinilah Sayyid Quthb menyatakan bahwa perkataan yang karīm, dalam konteks hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan yang tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. Yakni, bagaimana ia berkata kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan dihormati. Ibn 'Asyur menyatakan bahwa qaul karīm adalah perkataan yang tidak memojokkan pihak lain yang membuat dirinya merasa seakan terhina. Contoh yang paling jelas adalah ketika seorang anak ingin menasehati orang tuanya yang salah, yakni dengan tetap menjaga sopan santun dan tidak bermak­sud menggurui, apalagi sampai menyinggung perasaan­nya. Yang pasti qaul karīm, adalah setiap perkataan yang dikenal lembut, baik, yang mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan.

c.    Prinsip Qaul Maisūr
Di dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, yaitu surah al-Isra' ayat 28:
و إما تعرضن عنهم ابتغاء رحمة من ربك ترجوها فقل لهم قولاميسورا
"Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut."
Ibn Zaid berkata, "Ayat ini turun berkenaan dengan kasus suatu kaum yang minta sesuatu kepada Rasulullah saw  namun beliau tidak mengabulkan permintaannya, sebab beliau tahu kalau mereka seringkali membelanjakan harta kepada hal-hal yang tidak berman­faat. Sehingga berpalingnya beliau adalah semata-mata karena berharap pahala. Sebab, dengan begitu beliau tidak mendukung kebiasaan buruknya dalam menghambur-hamburkan harta. Namun begitu, harus tetap berkata dengan perkataan yang menyenangkan atau melegakan.
Ayat ini juga mengajarkan, apabila kita tidak bisa memberi atau mengabulkan permintaan karena memang tidak ada, maka harus disertai dengan perkataan yang baik dan alasan-alasan yang rasional. Pada prinsipnya, qaul maisūr adalah segala bentuk perka­taan yang baik, lembut, dan melegakan. Ada juga yang menje­laskan, qaul maisūr adalah menjawab dengan cara yang sangat baik, perkataan yang lembut dan tidak mengada-ada. Ada juga yang mengidentikkan qaul maisūr dengan  qaul ma'rūf. Artinya, perkata­an yang maisūr adalah ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat setempat.

d.   Prinsip Qaul ma'ruf
Di dalam al-Qur'an term ini disebutkan sebanyak empat kali, yaitu Q.s. al-Baqarah ayat 235, al-Nisa' ayat 5 dan 8, al-Ahzab ayat 32. Di dalam Q.s. al-Baqarah ayat 235, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks meminang wanita yang telah ditinggal mati suaminya. Sementara di dalam Q.s. an-Nisa' ayat 5 dan 8, qaul ma'ruf dinyatakan dalam konteks tanggung jawab atas harta seorang anak yang belum me­man­faatkannya secara benar (safih). Sedangkan di Q.s. al-Ahzab ayat 32, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks istri-istri Nabi Saw.
Kata ma'ruf disebutkan di dalam al-Qur'an sebanyak 38 kali, yang bisa diperinci sebagai berikut:
1. Terkait dengan tebusan dalam  masalah pembunuhan setelah mendapatkan pemaafan terkait dengan wasiyat
2. Terkait dengan persoalan thalaq, nafkah, mahar, 'iddah, pergaulan suami-istri
3. Terkait dengan dakwah
4. Terkait dengan pengelolaan harta anak yatim
5. Terkait dengan pembicaraan atau ucapan
6. Terkait dengan ketaatan kepada Allah da Rasul-Nya
Menurut al-Ishfahani, term ma'ruf menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan syara'. Dari sinilah ke­mu­dian muncul pengertian bahwa ma'ruf adalah kebaikan yang bersifat lokal. Sebab, jika akal dijadikan sebagai dasar pertimbangan dari setiap kebaikan yang muncul, maka tidak akan sama dari masing-masing daerah dan lokasi.
Dalam beberapa konteks al-Razi menjelaskan, bahwa qaul ma'ruf adalah perkataan yang baik, yang menancap ke dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (safih); perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu;  Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang baik.

e.  Prinsip Qaul layyin
Di dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, Q.s. Thaha ayat 44:اذهبا الى فرعون انه طغى. فقولا له قولا لينا لعله يتذكر او يخشى

“Pergilah kamu bedua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut."
Ayat ini memaparkan kisah nabi Musa dan Harun ketika diperin­tah­kan untuk  menghadapi Fir'aun, yaitu agar keduanya ber­ka­ta kepada Fir'aun dengan perkataan yang layyin. Asal makna layyin adalah lembut atau gemulai, yang pada mulanya digunakan untuk menunjuk gerakan tubuh. Kemudian kata ini dipinjam (isti'arah) untuk menunjukkan perkataan yang lembut. Semen­tara yang dimaksud dengan qaul layyin adalah perkataan yang mengan­dung anjuran, ajakan, pemberian contoh, di mana si pembi­cara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara tersebut. Dengan demikian, qaul layyin adalah salah satu metode dakwah, karena tujuan utama dakwah adalah mengajak orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa dan unjuk kekuatan.
Ada hal yang menarik untuk dikritisi, misalnya, kenapa Musa harus berkata lembut padahal Fir'aun adalah tokoh yang sangat jahat. Menurut al-Razi, ad dua alasan, pertama, sebab Musa pernah dididik dan ditanggung kehidupannya semasa bayi sampai dewasa. Hal ini, merupakan pendidikan bagi setiap orang, yakni bagaimana seha­rus­nya bersikap kepada orang yang telah berjasa besar dalam hidupnya; kedua, biasanya seorang penguasa yang zalim itu cenderung bersikap lebih kasar dan kejam jika diperlakukan secara kasar dan dirasa tidak menghormatinya.

f.  Prinsip Qaul sadid
Di dalam al-Qur'an qaul sadid disebutkan dua kali, pertama, Q.s. an-Nisa' ayat 9:
وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله و ليقولوا قولا سديدا

"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seki­ranya mereka  meninggalkan keturunan yang lemah di belakang me­reka yang mereka khawatir atas (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar."
Ayat ini turun dalam kasus seseorang yang mau meninggal ber­maksud mewasiyatkan seluruh kekayaan kepada orang lain, padahal anak-anaknya masih membutuhkan harta tersebut. Dalam kasus ini, perkataan yang harus disampaikan kepadanya harus tepat dan argumentatif. Inilah makna qaul sadīd. Misalnya, dengan perkatan, "bahwa anak-anakmu adalah yang paling berhak atas hartamu ini. Jika seluruhnya kamu wasiyatkan, bagaimana dengan nasib anak-anakmu kelak." Melalui ayat ini juga, Allah ingin mengingatkan kepa­da setiap orang tua hendaknya mempersiapkan masa depan anak-anaknya dengan sebaik-baiknya agar tidak hidup terlantar yang justru akan menjadi beban orang lain. Dan kedua, Q.s. al-Ahzab ayat 70:
يايهاالذين امنوا اتقوا الله و قولوا قولا سديدا

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.
Ayat ini diawali dengan seruan kepada orang-orang beriman. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu konsekwensi keimanan ada­lah berkata dengan perkataan yang sadīd. Atau dengan istilah lain, qaul sadīd menduduki posisi yang cukup penting dalam konteks kualitas keimanan dan ketaqwaan seseorang. Sementara berkaitan dengan qaul sadid,  terdapat banyak penafsiran, antara lain, perka­taan yang jujur dan tepat sasaran. Perkataan yang lembut dan mengandung pemuliaan bagi pihak lain, pembicaraan yang tepat sasaran dan logis, perkataan yang tidak menyakitkan pihak lain, perkataan yang memiliki kesesuaian antara yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hatinya.


g.   Prinsip Qaul Zur
Di dalam al-Qur'an, qaul zur hanya ditemukan sekali, Q.s. al-Hajj ayat  30:ذلك ومن يعظم حرمات الله فهو خير له عند ربه, و احلت لكم الانعام الا ما يتلى عليكم فاجتنبوا الرجس من الاوثان و اجتنبوا قول الزور

"Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa menga­gung­kan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumāt) maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan dihalalkan bagi kamu semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu (keharam­an­nya), maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta.
Asal makna kata zūr adalah menyimpang/melenceng (mā`il). Perkataan zūr dimaknai kizb (dusta), karena menyimpang/melen­ceng dari yang semestinya atau yang dituju. Qaul zūr juga ditafsirkan mengharamkan yang  halal atau sebaliknya; serta saksi palsu. Rasulullah saw, sebagaimana dikutip oleh al-Razi, bersabda , "saksi palsu itu sebanding syirik. Menurut al-Qurthubi, ayat ini mengandung ancaman bagi yang memberikan saksi dan sumpah palsu. Ia termasuk salah satu dosa besar, bahkan termasuk tindak pidana.

2     KOMUNIKASI BISNIS RASULULLAH
Dalam buku Super leader Super Menejer karya Bapak Muhammad Syafi’i Antonio, di situ beliau menceritakan bahwa Muhammad saw merintis karir dagangannya ketika berumur 12 tahun dan memulai usahanya sendiri ketika berumur 17 tahun. Pekerjaan ini terus dilakukan sampai menjelang beliau menerima wahyu  (beliau berusia sekitar 37 tahun). Dengan demikin Muhammmad saw telah berprofesi sebagai pedagang selama 25 tahun ketika beliau menerima wahyu. Angka ini sedikit lebih lama dari masa kerasulan beliau yang berlangsung selama sekitar 23 tahun.
Aspek bisnis Muhammad saw ini juga luput dari perhatian kebanyakan perhatian orientalis. Mungkin dianggap kontroversial dan tidak menarik dalam perdebatan teologis. Sebagian mereka juga sering melancarkan serangan terhadap pribadi Muhammad saw tetapi jarang sekali yang mengkaji secara mendalam perilaku bisnis beliau.
Perhatian terhadap aspek bisnis Muhammad saw ini mulai mengemuka seiring dengan munculnya kembali konsep ekonomi Islam. Selain membangun kerangka teori ekonomi Islam dan berbagai aspeknya, dan dicari tokoh yang dapat dijadikan teladan dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomi. Muhammad saw adalah figur sangat tepat sebagai teladan dalam bisnis dan perilaku ekonomi yang baik. Beliau tidak hanya memberikan tuntunan dan pengarahan tentang bagaimana kegiatan ekonomi dilaksanakan, tetapi beliau mengalami sendiri menjadi seorang pengelola bisnis atau wirausaha.
Kewirausahaan (entrepreneurship) tidak terjadi begitu saja tetapi hasil dari suatu proses yang panjang sejak beliau masih kecil. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Collin dan Moores (1964) dan Zeleznik (1976) yang menyatakan berkesimpulan bahwa  The act of entrepreneurship is an act patterned after modes of coping with early childhood experience.  Pendapat ini diamini oleh kebanyakan guru leadership. Mereka sepakat bahwa apa yang terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan kita akan membuat perbedaan yang berarti dalam kehidupan berikutnya.
Mungkin sebagian besar dari kita melihat sosok Nabi Muhammad sebagai seorang tokoh besar dunia yang hidup seadanya, tidak kaya dan tidak sukses dalam bisnis. Namun tahukah Anda, bahwa sesungguhnya beliau adalah pedagang yang handal yang dengan kemampuan berdagangnya bisa mendapatkan keuntungan dengan modal nominal nol?
Dalam konteks Muhammad saw, beliau mempunyai pengalaman yang pahit dilahirkan dalam keadaan yatim, ketika ayahnya sudah tiada. Pada usia enam tahun, dalam perjalanan kembali dari Yatsrib sesudah menengok makam ayahnya, Muhammad kembali kehilangan orangtua karena saat itu ibunya pun wafat. Bisa dibayangkan dalam usia enam tahun Muhammad sudah menjadi yatim piatu. Sampai usia delapan tahun 2 bulan beliau dibina dan dididik oleh kakeknya, Abdul Muthalib, seorang yang terpandang waktu itu. Usia itu sepeninggal kakeknya, diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Mulai saat itulah pemuda kecil Muhammad mulai mencari nafkah sendiri dengan menggembala kambing.
Pada usia 12 tahun, Muhammad diajak oleh pamannya berdagang ke Syiria yang berjarak ribuan kilometer dari kota makkah. Perjalanan yang begitu jauh yang ditempuh oleh seorang anak berusia 12 tahun tampa menggunakan mobil ataupun pesawat sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang zaman sekarang. Sepulang dari Syiria, Muhammad sangat sering mengadakan bisnis sampai beliau dikenal di Jazirah Arab sebagai seorang pengusaha Muda yang sukses.
Pendek kata, sebelum kenabian Rasulullah telah meletakkan prinsip-prinsip dasar dalam melakukan transaksi bisnis secara adil. Kejujuran dan keterbukaan Rasulullah dalam melakukan transaksi perdagangan merupakan teladan bagi seorang pengusaha generasi selanjutnya. Beliau selalu menepati janji dan mengantarkan barang dagangan dengan standar kualitas sesuai dengan permintaan pelanggan sehingga tidak pernah membuat pelanggannya mengeluh atau bahkan kecewa. Reputasi sebagai pelanggan yang benar-benar jujur telah tertanam dengan baik. Sejak muda, beliau selalu memperlihatkan rasa tanggung jawabnya terhadap setiap transaksi yang dilakukan.
Di usia 25 tahun, Muhammad menikah dengan Siti Khadijah dengan mahar 100 ekor unta muda. Saya kira, di Indonesia saat ini masih sulit kita dapati pemuda yang berani memberi mahar sebanyak atau setara dengan itu. Dalam buku   Muhammad sebagai seorang Pedagang  diceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW Adalah seorang profesional, namun itulah yang amat jarang kita bahas, yaitu bagaimana beliau menjadi seorang profesional dan bagaimana etos kerja beliau? Padahal beliau memulai usaha tanpa modal sepeserpun.
Jadi kalau ada yang mengeluh karena terlahir dari orang miskin maka bandingkan dengan Muhammad yang terlahir tanpa ayah di sisinya. Ketika pendidikan rendah menjadi alasan, bandingkan dengan Muhammad yang tidak pernah sekolah. Dan ketika ketiadaan modal menjadi halangan, bandingkan dengan Muhammad yang tidak berbekal modal materi. Dengan begitu tidak ada satu alasan pun bagi kita untuk mengeluh.
Sikap mandiri dan tidak bergantung pada orang lain adalah salah satu sikap yang harus dimiliki oleh seorang entrepreneur sejati. Kecerdasan emosional yang dimiliki Rasulullah juga sangat baik dalam membangun sebuah jaringan. Tidak tanggung-tanggung, rekanan bisnis Rasulullah adalah para pembesar-pembesar kaum Quraisy, yang juga merupakan teman kakeknya, Abdul Muthalib. Jaringan yang dipupuknya dengan kepercayaan. Kepercayaan yang bibitnya adalah kejujuran. Buahnya lebih hebat lagi. Saudagar wanita yang cantik lagi sukses, bernama Siti Khadijah, terpesona akan sikapnya yang kemudian menjadi istrinya.
Kehidupan masa kecil Muhammad yang langsung dididik oleh alam, membuatnya lebih luas dalam melihat peluang. Lebih berani dalam mencoba. Dan lebih tahan banting. Sifat kepemimpinannya dilatih melalui pekerjaannya sebagai penggembala domba. Namun begitu, semuanya didasarkan atas ridha Sang Ilahi.
Ada dua prinsip utama yang patut kita contoh dari perjalanan bisnis Rasulullah saw. Pertama, uang bukanlah modal utama dalam berbisnis, modal utama dalam usaha adalah membangun kepercayaan dan dapat dipercaya (al-amin).  money is not number one capital in business, the number one capital is trust . Kedua, kompetensi dan kemampuan teknis yang terkait dengan usaha. Beliau mengenal dengan baik pasar-pasar dan tempat-tempat perdagangan di Jazirah Arab. Beliau juga mengetahui seluk beluk aktifitas perdagangan dan bahayanya riba sehingga beliau menganjurkan jual beli dan mehapuskan sistem riba.
Sikap-sikap Rasulullah tersebut hendaknya dapat memberikan gambaran bagi kita, bagaimana sebenarnya sebuah bisnis seharusnya dimulai dan dikelola. Tidak mungkin tidak sukses apabila kita menerapkan apa-apa yang telah Rasulullah contohkan, kecuali Allah Swt yang menghendakinya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar